Featured Books

Bestsellers

Pengelolaan Nyeri Pada Endometriosis


A.    Definisi Endometriosis
Endometriosis didefinisikan sebagai ditemukannya dan bertumbuhnya kelenjar dan stroma endometrium di lokasi heterotopik jauh dari endometrium normal.3 Endometriosis merupakan suatu gangguan ginekologi kronik, bersifat jinak, tergantung estrogen, yang berhubungan dengan nyeri pelvik dan infertilitas.5
Implan endometrium ektopik ini biasanya terletak di dalam panggul,3 dengan karakteristik ditemukannya endometrial-like tissue di luar uterus terutama pada peritoneum pelvis, ovarium,1,2 dan septum rektovaginal,1 tetapi dapat ditemukan di tempat lainnya dalam tubuh,3 misalnya diafragma, pleura, dan perikardium1 dan sering dikaitkan dengan nyeri dan peningkatan risiko infertilitas.3

B.     Epidemiologi Endometriosis
Endometriosis merupakan penyebab umum morbiditas pada wanita usia reproduktif.2 Endometriosis mempengaruhi 6–10% dari wanita usia reproduktif, 50–60% dari wanita dan remaja putri dengan nyeri panggul, dan sampai 50% wanita dengan infertilitas.1
Meskipun endometriosis ini berhubungan dengan siklus menstruasi, dapat juga mengenai wanita postmenopause (2–5%), dan umumnya terjadi sebagai efek samping dari pengunaan hormon.5 Endometriosis postmenopause meningkatkan risiko rekurensi dan transformasi keganasan. Beberapa lesi endometriosis berpredisposisi untuk terjadinya kanker clear cell dan endometriod ovarium. Endometrioma ovarium yang berdiameter 9 cm atau lebih merupakan prediktor kuat perkembangan kanker ovarium pada wanita postmenopause yang berumur 45 tahun atau lebih. 5

C.     Faktor Risiko Endometriosis
Faktor risiko endometriosis meliputi:
-       obstruksi aliran menstruasi (misalnya, anomali mullerian), 
-       paparan terhadap diethylstilbestrol di dalam uterus,
-       paparan berkepanjangan dengan estrogen endogen (misalnya, karena menarche dini, terlambat menopause, atau obesitas),
-       siklus menstruasi pendek,
-       berat badan lahir rendah, dan
-       paparan terhadap bahan kimia yang mengganggu endokrin. 1
Studi terhadap kembar dan keluarga menunjukkan adanya keterlibatan komponen genetik. Konsumsi daging merah dan trans fats berhubungan dengan peningkatan risiko endometriosis yang dikonfirmasi dengan laparoskopi, dan makan buah-buahan, sayuran hijau, dan asam lemak n-3 rantai panjang  dikaitkan dengan penurunan risiko. Laktasi lama dan kehamilan multipel bersifat protektif. Endometriosis dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit autoimun, endometrioid ovarium, clear-cell karsinoma, serta kanker lainnya, termasuk limfoma non-Hodgkin dan melanoma.1

A.    Patofisiologi Endometriosis
Etiologi pasti dari endometriosis masih belum diketahui. Namun, banyak teori telah diusulkan untuk menjelaskan presentasi klinis penyakit. Teori menstruasi retrograd oleh Sampson merupakan penjelasan yang paling dapat diterima untuk penyakit ini. Teori ini didukung dengan penelitian eksperimen dengan binatang dan juga oleh pengamatan klinis selama laparoskopi yang mencatat situs umum dari keterlibatan sekitar ovarium dan dalam kantung Douglas. Endometriosis pelvis adalah lokasi anatomi yang paling umum untuk penyakit ini. Hemipelvis dan ovarium kiri lebih sering terkena daripada yang kanan, yang dapat dijelaskan oleh adanya colon sigmoid di sebelah kiri yang menurunkan pergerakan cairan peritoneal. Signifikansi klinis lateralisasi ini tidak diketahui. Keterlibatan ovarium sering dikaitkan dengan kista endometriosis yang dikenal sebagai endometrioma atau "kista coklat". Peritoneum pelvis, posterior cul-desac, kantong uterovesical dan uterosakral, ligamen rotundum dan latum juga merupakan tempat-tempat umum untuk endometriosis. Keterlibatan limfonodi pelvis ditemukan sampai dengan sepertiga dari kasus. Kadang-kadang, cervix, vagina, dan vulva juga terlibat. Meskipun traktus genitalis merupakan sistem yang paling sering terlibat, saluran pencernaan merupakan situs extragenital yang paling sering untuk endometriosis. Saluran kemih adalah sistem ketiga yang paling sering terlibat, yang mempengaruhi 10% perempuan dengan endometriosis. Bintik endometriotik kecil superfisial ditemukan paling sering pada kandung kemih, diikuti oleh ureter. Endometrioma ovarium bervariasi dalam ukuran, mulai dari 1 mm sampai kista coklat besar yang dapat lebih besar dari 8 cm diameter.3
Jaringan dan sel-sel endometrium transplantasi retrograde melekat pada permukaan peritoneal, membentuk suplai darah, dan menginvasi struktur di dekatnya. Mereka disusupi oleh saraf sensorik, simpatik, dan parasimpatis dan mendatangkan respons inflamasi. Implan endometriotik mengeluarkan estradiol (E2) serta prostaglandin E2 (PGE2), zat-zat yang menarik makrofag (monocyte chemotactic protein 1 [MCP-1]), peptida neurotropik (nerve growth factor [NGF]), enzim untuk remodeling jaringan (matrix metalloproteinases [MMPs]), tissue inhibitors of MMPs (TIMPs), dan zat proangiogenik seperti vascular endothelial growth factor (VEGF) dan interleukin-8. Lesi mengeluarkan haptoglobin, yang menurunkan adhesi makrofag dan fungsi fagositosis. Lesi dan makrofag teraktivasi, yang berlimpah dalam cairan peritoneum pada wanita dengan endometriosis, juga mensekresi sitokin pro inflamasi (interleukin-1β, interleukin-8, interleukin-6, dan tumor necrosis factor α [TNF-α]). Lokal (dan sistemik) estradiol dapat merangsang lesi untuk memproduksi PGE2, yang dapat mengaktifkan serabut nyeri, meningkatkan invasi saraf lesi dengan merangsang produksi NGF dan neurotrophins lainnya, dan meningkatkan pertumbuhan dari nosireseptor yang berkontribusi terhadap nyeri inflamasi persisten dan menghambat apoptosis neuron. Terjadi miseksperi dari endometrial bleeding factor (EBAF) dan dapat mengakibatkan pendarahan rahim. Infertilitas yang merupakan hasil dari efek racun dari proses inflamasi pada gamet dan embrio, berkompromi dengan fungsi fimbrial, dan endometrium eutopik yang resisten terhadap aksi progesteron dan tidak cocok terhadap implantasi embrio. Progesteron tidak meregulasi gen HoxA10, HoxA11 dan integrin αVβ3, dan dengan demikian endometrium tidak cocok terhadap implantasi embrio. Bahan kimia yang mengganggu endokrin dapat berkontribusi pada resistensi progesteron dan juga disfungsi kekebalan tubuh. ERFFI1 (ErbB receptor feedback inhibitor 1) terekspresi dan adanya kelebihan sinyak mitogenik.1
Patofisiologi Nyeri dan Infertilitas pada Endometriosis

B.     Gambaran Klinis Endometriosis
Nyeri panggul yang berkaitan dengan endometriosis biasanya kronis (berlangsung ≥ 6 bulan) dan berhubungan dengan dismenore (di 50 - 90% dari kasus), dispareunia, nyeri panggul dalam, dan nyeri perut bagian bawah dengan atau tanpa nyeri punggung dan pinggang. Rasa sakit dapat terjadi tak terduga dan intermiten  selama siklus menstruasi atau bisa terus menerus, dan dapat terasa tumpul, berdenyut, atau tajam, dan diperburuk oleh aktifitas fisik. Gejala yang berhubungan dengan kandung kemih dan usus (mual, distensi, dan kenyang awal) biasanya bersifat siklik. Nyeri sering memburuk dari waktu ke waktu dan dapat berubah sifat, nyeri yang bersifat terbakar atau hipersensitivitas jarang dilaporkan, gejala yang bersifat sugestif dari komponen neuropatik. Adanya gejala yang tumpang tindih dengan beberapa kondisi ginekologi lainnya (misalnya, penyakit radang panggul, adhesi panggul, kista indung telur atau massa, leiomyomata, dan adenomiosis), dan faktor serta kondisi non ginekologi (misalnya,  irritable bowel syndrome, inflammatory bowel disease, sistitis interstisial, nyeri myofascial, depresi, dan riwayat pelecehan seksual), membuat diagnosis menjadi sulit.1

C.     Diagnosis dan Staging Endometriosis
Pada sebagian besar penyakit, anamnesis yang lengkap akan merujuk kepada diagnosis pada mayoritas pasien. Trias klasik gejala dari endometriosis yaitu dismenore (kram perut pada saat menstruasi), dispareuni (nyeri pada saat bersenggama), dan Mittleschmerz (nyeri pada pertengahan siklus atau saat ovulasi).6
Nyeri panggul kronis dan infertilitas adalah gejala yang paling umum dari endometriosis. Nyeri panggul kronis dapat berupa nyeri siklik, nyeri nonsiklik, dismenore sekunder, dan / atau dispareunia. Rasa sakit biasanya dimulai sebelum timbulnya menstruasi, meningkat dengan banyaknya menstruasi, dan berkurang secara bertahap menjelang akhir menstruasi. Dispareunia sering dalam dan sebagian besar merupakan akibat imobilitas organ panggul akibat adhesi.3
Saat ini, metode definitif untuk mendiagnosis, penilaian stadium endometriosis dan evaluasi terhadap rekurensi penyakit setelah pengobatan adalah visualisasi dengan tindakan bedah.1 Saat ini, laparoskopi merupakan gold standar untuk mendiagnosis endometriosis.3 Sistem penilaian yang telah direvisi dari American Society for Reproductive Medicine digunakan untuk menentukan stadium penyakit (mulai dari stadium I yang menunjukkan penyakit minimal, hingga stadium IV yang menunjukkan penyakit parah) berdasarkan jenis,lokasi lesi, penampilan, dalamnya invasi lesi, luasnya penyakit dan adesi. Walaupun penilaian stadium berguna dalam menentukan manajemen penyakit, stadium tidak berkorelasi dengan beratnya nyeri atau memprediksi respons terhadap terapi untuk nyeri atau infertilitas. Pendekatan diagnostik non-operatif seperti ultrasonografi transvaginal dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) tidak banyak membantu dalam mendeteksi adanya adesi dan implantasi di peritoneum dan ovarium. Namun, kedua metode pencitraan tersebut dapat mendeteksi endometrioma ovarium dengan baik, dengan kisaran sensitivitas 80 - 90% dan spesifisitas 60 - 98%. Karena biaya yang lebih rendah, ultrasonografi ransvaginal lebih disukai daripada MRI dalam diagnosis endometrioma. Doppler ultrasonografi dapat membantu dalam menetapkan diagnosis, karena dapat menunjukkan karakteristik aliran darah sedikit ke endometrioma, aliran normal pada jaringan ovarium normal, dan aliran yang meningkat pada tumor ovarium.1 Kadar CA-125 mungkin meningkat pada endometriosis, tetapi tes ini tidak dianjurkan untuk tujuan diagnostik karena rendahnya sensitivitas dan spesifisitas.1,3 Interval rata-rata antara timbulnya rasa sakit dan diagnosis definitif (bedah) adalah 10,4 tahun. 1

D.    Penatalaksanaan Endometriosis
Terapi  endometriosis memiliki dua tujuan, yaitu mengendalikan rasa sakit dan penekanan produksi estrogen.4 Terapi jangka panjang terhadap pasien dengan nyeri pelvis kronis yang berhubungan dengan endometriosis melibatkan rangkaian berulang terapi medis, terapi bedah, atau keduanya.1,6 Dalam kebanyakan kasus, rasa sakit muncul kembali dalam waktu 6 sampai 12 bulan setelah selesainya terapi.1
1.         Terapi Medis
Terapi medis empiris umumnya dimulai untuk mengontrol rasa sakit tanpa konfirmasi bedah. Terapi tersebut dimaksudkan untuk mengurangi rasa sakit melalui berbagai mekanisme, termasuk meminimalkan peradangan, mengganggu atau menekan siklus produksi hormon ovarium, menghambat aksi dan sintesis estradiol, dan mengurangi atau mengeliminasi mens.1
Analgesik merupakan terapi nonspesifik, tetapi merupakan bagian terapi medis yang penting dan satu-satunya modalitas terapi yang tepat untuk wanita yang menginginkan kehamilan.6 Anti inflamasi non-steroid (AINS) biasanya efektif, karena implan endometriosis mengeluarkan prostaglandin dan sitokin, yangmana produksinya diturunkan oleh AINS. Asetaminofen saja memang kurang efektif tapi cukup baik bila dikombinasi dengan AINS lainnya, atau sebagai monoterapi pada pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap AINS.6 AINS biasanya digunakan untuk mengurangi dismenore, meskipun suatu studi acak terkontrol tidak menunjukkan penurunan nyeri yang signifikan akibat endometriosis dengan menggunakan AINS dibandingkan dengan plasebo dan tidak ada keunggulan salah satu AINS di atas lainnya.1 Haruslah dicatat bahwa AINS sebaiknya dihindari pada masa sekitar ovulasi pada wanita yang menginginkan kehamilan, karena penggunan AINS kronik berhubungan dengan sindrom luteinized unruptured follicle wall; blokade terhadap prostaglandin menghambat pecahnya dinding folikel yang menyebabkan keluarnya ovum, sehingga fertilisasi dicegah. Pada nyeri hebat, terutama pada dismenore yang berat diperlukan suatu narkotik.6   
Kontrasepsi oral kombinasi dapat digunakan secara siklis atau kontinu untuk nyeri terkait endometriosis dan biasanya dikombinasikan dengan AINS, meskipun berhubungan dengan tingkat kegagalan 20 - 25%. Pendekatan ini merupakan terapi lini pertama pada pasien tanpa kontraindikasi terhadap penggunaan kontrasepsi oral kombinasi. Agonis GnRH efektif mendeplesi pituitari dari gonadotropin endogen dan menghambat sintesisnya lebih lanjut, sehingga mengganggu siklus menstruasi dan mengakibatkan keadaan hipoestrogenik, atrofi endometrium, dan amenore. 1
Karena terapi agonis GnRH memiliki efek samping yang cukup besar, termasuk hipoestrogenik yang dapat menyebabkan hilangnya tulang hingga 13% selama 6 bulan (yang sebagian reversibel pada penghentian terapi), maka terapi penambahan kembali estrogen-progestagen yang direkomendasikan. Estrogen threshold hypothesis menunjukkan bahwa mempertahankan tingkat estradiol antara 30 dan 45 pg per mililiter (109 dan 164 pmol per liter) akan mempertahankan kepadatan mineral tulang tanpa menstimuli penyakit. Meskipun, skor untuk nyeri panggul, pelunakan, dan dismenore diperbaiki dengan penggunaan regimen kombinasi norethindrone asetat dengan dosis 5 mg sehari dengan agonis GnRH yang merupakan suatu estrogen kuda terkonjugasi pada dosis 0,625 mg, atau keduanya, tetapi tidak ketika 5 mg asetat norethindrone dikombinasikan dengan dosis yang lebih tinggi (1,25 mg) estrogen kuda terkonjugasi. Dalam waktu 1 tahun, kepadatan mineral tulang dipertahankan pada baseline pada semua kelompok yang menerima terapi penambahan kembali. Efek terapi penambahan kembali hanya progestin terhadap kepadatan tulang menunjukkan hasil yang tidak konsisten pada orang dewasa dan remaja. 1
Sejak lesi endometriotik mengekspresikan aromatase dan mensintesis estradiol mereka sendiri, penekanan produksi estradiol ovarium mungkin tidak sepenuhnya mengontrol rasa sakit. Studi terbatas yang melibatkan sejumlah kecil pasien menunjukkan bahwa inhibitor aromatase (pada dosis lebih rendah daripada yang digunakan untuk pengobatan kanker payudara) adalah efektif dalam mengurangi nyeri panggul, dengan efek yang mirip dengan terapi hormon lainnya. Aromatase inhibitor, bagaimanapun, tidak disetujui oleh FDA untuk nyeri terkait endometriosis.1
Danazol merupakan pengobatan awal untuk endometriosis, namun efek samping androgeniknya membatasi penggunaannya secara klinis. Dalam studi kecil, antiprogestagens seperti mifepristone menunjukkan dapat mengurangi rasa sakit, namun data studi acak yang lebih besar masih kurang.1
2.         Terapi Bedah
Pendekatan bedah untuk menghilangkan nyeri yang berhubungan dengan endometriosis dapat digunakan sebagai terapi lini pertama atau dimulai setelah terapi medis gagal. Prosedur bedah termasuk eksisi, fulgurasi, atau ablasi laser dari implan endometriosis pada peritoneum, eksisi atau drainase atau ablasi endometrioma, reseksi nodul rektovaginal, lisis adhesi, dan gangguan jalur saraf. Percobaan random terkontrol telah menunjukkan bahwa pada 6 bulan, ablasi laparoskopi dari implan endometriosis adalah 65% efektif dalam mengurangi nyeri, dibandingkan dengan pengurangan nyeri oleh laparoskopi diagnostik saja (22%). Suatu percobaan kecil yang membandingkan ablasi laparoskopi dengan pengobatan agonis GnRH menunjukkan pengurangan rasa sakit yang sama dengan dua pendekatan. Rekurensi nyeri yang membutuhkan terapi adalah hal yang umum (30 - 60% dari pasien) dalam waktu 6 sampai 12 bulan setelah pengobatan. Analisis data gabungan dari dua percobaan acak yang melibatkan 164 perempuan yang membandingkan antara eksisi laparoskopi dengan drainase atau ablasi endometrioma dengan diameter lebih besar dari 3 cm menunjukkan bahwa penurunan rekurensi dismenore, dispareunia, dan nyeri pada eksisi sebanding dengan tindakan bedah lebih lanjut. Sebuah strategi alternatif untuk mengontrol nyeri yang berhubungan dengan endometriosis adalah dengan interupsi pada jalur saraf. Sedangkan ablasi segmen ligamen uterosakral belum terbukti efektif, percobaan random terkontrol telah menunjukkan keunggulan laparoskopi ablasi jaringan endometriotik dikombinasikan dengan neurektomi presakral (pengangkatan bundel saraf di dalam segitiga interiliaca) di atas ablasi laparoskopi saja dalam memperbaiki dismenore dan mengurangi nyeri berat. Penggantian hormon pascaoperasi harus mencakup estrogen dan progestagen, karena estrogen saja dapat merangsang pertumbuhan penyakit mikroskopis. 1
3.         Terapi Ajuvan
Pada wanita dengan penyakit lanjut (stadium III atau IV), dismenore sedang sampai parah, dan nyeri panggul nonsiklik, terapi medis pascaoperasi dapat memperbaiki manajemen nyeri dengan menyediakan kontrol terhadap rekurensi sisa penyakit mikroskopis. Sebuah meta-analisis dari 6 penelitian random bahwa dibandingkan 3 sampai 6 bulan pengobatan pasca operasi dengan agonis GnRH, danazol, atau kontrasepsi oral kombinasi tanpa perawatan pasca-operasi atau plasebo menunjukkan penurunan yang signifikan dalam skor nyeri pada akhir terapi dalam kelompok terapi aktif, meskipun manfaatnya tidak konsisten dengan follow up yang lebih lama (untuk 18 bulan) setelah penghentian terapi. Interval rata-rata antara operasi dan rekurenai gejala membutuhkan terapi alternatif secara signifikan lebih lama bagi pasien yang menerima pengobatan pasca operasi dengan agonis GnRH (> 24 bulan) dibandingkan dengan pasien yang menerima plasebo (12 bulan). 1
Ketika membandingkan pilihan terapi pasca operasi yang berbeda-beda, suatu studi lainnya menunjukkan bahwa penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim yang mengandung levonorgestrel-releasing pasca operasi menghasilkan penurunan rekurensi dismenore yang lebih besar daripada pengobatan dengan agonis GnRH, meskipun pengobatan ini belum diadopsi secara luas.3
4.         Managemen Infertilitas
Sebuah meta analisis besar dari percobaan acak mengevaluasi suprei ovarium dengan kontrasepsi oral kombinasi, agonis GnRH, medroxyprogesterone acetate, atau danazol dibandingkan dengan plasebo atau tanpa pengobatan pada wanita dengan berbagai stadium endometriosis tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam kehamilan spontan atau tingkat kelahiran hidup. Dengan demikian, agen ini tidak dianjurkan untuk pengobatan infertilitas dan tidak harus menunda terapi kesuburan efektif. Terapi gonadotropin dan inseminasi intrauterine, serta fertilisasi in vitro (IVF), merupakan terapi efektif pada wanita dengan infertilitas dan endometriosis. Ablasi lesi endometriosis dengan melisiskan adesi dianjurkan untuk pengobatan infertilitas yang terkait dengan endometriosis stadium 1 atau 2.1


KESIMPULAN

Endometriosis merupakan penyebab signifikan nyeri pelvis kronik dan berhubungan dengan rendahnya fertilitas pada  wanita (tapi tidak semuanya). Diagnosis dini dan terapi yang tepat akan menurunkan morbiditasnya terhadap nyeri sehingga memperbaiki produktivitasnya.6
Pada pasien yang datang dengan keluhan nyeri yang merujuk pada endometriosis, maka setelah dilakukan serangkaian pameriksaan medis, bedah, genekologi dan riwayat keluarga, maka perlu dilakukan pemeriksaan pelvis lebih lanjut. Jika pemeriksaan pelvis menunjukkan adanya nyeri adneksa, pelunakan dengan atau tanpa rasa penuh, pasien harus disarankan melakukan pemeriksaan USG transvaginal untuk melihat adanya endometrioma ovarium atau penyakit panggul lainnya, meskipun penyakit peritoneal tidak akan terdeteksi dengan metode pencitraan ini.1
Bagi kebanyakan wanita, hilangnya gejala nyeri merupakan tujuan utama dalam pengobatan endometriosis. Meskipun ada banyak pilihan terapi medis yang tersedia, tindakan bedah mungkin diperlukan pada pasien yang gagal dengan pengobatan medis, disertai komplikasi akut, atau mengalami efek samping obat yang signifikan. Intervensi bedah baik konservatif maupun definitif dapat dilakukan dengan mempertimbangkan usia pasien, ekstensi penyakit, tujuan reproduksi, risiko pengobatan, efek samping, dan pertimbangan biaya.3
Anti inflamasi non-steroid dan kontrasepsi oral kombinasi siklik direkomendasikan sebagai terapi lini pertama  bila tidak ada kontraindikasi. Bila nyeri menetap, maka direkomendasikan untuk beralih pada kontrasepsi oral kombinasi kontinu selama 3 – 6 bulan atau sistem levonogestrel intrauterin. Jika pendekatan ini tidak efektif, terapi GnRH agonis dengan terapi penambahan kembali estrogen-progestin merupakan pilihan yang tepat. Laparoskopi diindikasikan untuk mengevaluasi dan mengobati nyeri persisten, massa pada panggul, atau keduanya. Pasien harus dikonseling tentang hubungan antara endometriosis dengan infertilitas, tetapi juga harus diyakinkan bahwa mungkin tidak bermasalah dengan kehamilan dan bahwa pengobatan untuk infertilitas terkait endometriosis sering efektif. 1


DAFTAR PUSTAKA

1.      Giudice Linda C. 2010. Endometriosis. N Engl J Med 2010;362:2389-98.
2.      Ozawa Y, Murakami T, Terada Y, Yaegashi N, Okamura K, Kuriyama S, Tsuji Ichiro. 2006. Management of the Pain Associated with Endometriosis: An Update of the Painful Problems. Tohoku J. Exp. Med 2006, 210, 175-188.
3.      Bedaiwy Mohamed A, Liu James. 2010. Pathophysiology, diagnosis, and surgical management of endometriosis: A chronic disease. SRM e-journal Vol. 8, No. 3, Aug 2010, 4-8.
4.      Bedaiwy Mohamed A, Liu James. 2010. Long-term management of endometriosis: Medical therapy and treatment of infertility. SRM e-journal Vol. 8, No. 3, Aug 2010, 10-14.
5.      Manero M.G, Royo P, Olartecoechea B, Alcázar J.L. 2009. Endometriosis in a postmenopausal woman without previous hormonal therapy: a case report. Journal of Medical Case Reports 2009, 3:135.
6.      Ryan Catherine. 2005. Diagnosis and Treatment of Endometriosis. Gundersen Lutheran Medical Journal, Vol. 3, No. 2, December 2005, 66-69.

Tags:

Copyright 2010 ReadingFirst | Digital Bookstore - All Rights Reserved.
Designed by Web2feel.com | Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com | Affordable HTML Templates from Herotemplates.com.